Tuesday, 6 November 2007

Budaya Pengakuan Hak Intelektual

Dalam perilaku masyarakat yang menanamkan kepentingan sosial dan kebersamaan, keenganan untuk mengakui hak intelektual dianggap sebagai hal yang lumrah sebagai suatu budaya yang mengakar pada budaya padi berbulir.

Dalam konteks filosofis, sejalan dengan semakin bertambahnya isi bulir padi, maka semakin merunduk juga batang padi. Analogi ini sering tercermin dalam perilaku keilmuwanan di negara berbudaya timur.

Sebagai konsekuensinya, kebanyakan para intelektual yang berbudayakan timur enggan mengklaim karya karyanya apabila terdapat pembajakan intelektual mengingat kuatnya landasan falsafah padi tersebut.

Sayangnya perilaku tersebut seringkali disalahgunakan untuk kepentingan kolektif dalam menciptakan sebuah karya yang mudah dan cepat tanpa mengakui keintegritasan pemegang hak intelektual.

Sebagai contoh, bukan rahasia lagi bahwa para pencipta lagu dan pemegang royalti yang seharusnya menikmati karya karya mereka justru dibajak untuk kepentingan yang lebih populis.

Mekanisme pasar yang seharusnya dijalankan secara bebas dan bertanggung jawab disimpangkan sebagai mekanisme pasar untuk memihak pada asas sama rata sama rasa. Walhasil, produk bajakan dianggap sebagai bagian dari mekanisme pasar itu sendiri.

Tidak terkecuali dalam karya intelektual, fungsi penilaian kelayakan cetak dipakai sebagai ajang untuk mengambil ide pemegang hak intelektual yang kemudian secara sengaja atau tidak diimitasikan dan dimodifikasi untuk kepentingan sang penilai.

Hak Intelektual

Pengakuan intelektual akan suatu karya pada dasarnya adalah sebuah bentuk hakiki untuk mengakui keberadaan talenta seseorang.

Bahkan dalam kegiatan yang sarat dengan komersialisasi pengetahuan, akumulasi dari intelektualitas yang terdapat pada seseorang dapat dijadikan komoditas dalam mengelola kegiatan perekonomian individu tersebut.

Dalam skala yang lebih besar, lahirnya perusahaan konsultan berbasiskan pengelolaan pengetahuan pada dasarnya merupakan tempaan dari pemberdayaan intelektualitas yang terakumulasi dan terorganisasi secara rapih.

Perusahaan perusahaan yang dapat menggabungkan pengelolaan pengetahuan dengan jaringan informasi, seperti halnya Google, bahkan dapat bertumbuh pesat melampaui perusahaan perusahaan berbasiskan produksi barang.

Penulis masih ingat akan awal kebangkitan Google yang bergelut dalam pencarian informasi berbasis jaringan melalui pemberdayaan algoritma matematika dalam mencari kata kunci untuk mendapatkan informasi secara cepat.

Dengan metode tersebut, Google merambah menjadi salah satu mesin pencari informasi yang tercepat dan paling banyak dipakai, melampaui kecepatan mesin pencari informasi yang dikembangkan oleh pihak Yahoo.

Bahkan melalui perlindungan hak intelektual untuk algoritma pencari informasi, kini Google telah menjadi satu perusahaan yang telah mencapai nilai lebih dari 600 dolar Amerika untuk perlembar sahamnya.

Hal ini sangatlah dimungkinkan mengingat tumbuhnya pengetahuan yang baru dapat dikomersialkan sekaligus dilindungi oleh institusi yang menjamin perlindungan hak intelektual.

Melalui institusi seperti International Trade Commissions di Amerika Serikat, kasus kasus penyalahgunaan pemberdayaan hak paten dapat ditangani sehingga karya karya baru dapat mengalir di pasar tanpa hambatan yang berarti.

Perilaku

Penghargaan akan hak intelektual baik dalam karya karya keilmuan dan gagasan pemikiran tercermin melalui pengakuan akan sumber yang menjadi bahan rujukan dalam menciptakan karya tersebut.

Di negara maju seperti Inggris, budaya tersebut sejak dini telah ditanamkan pada calon pemegang kesarjanaan baik melalui penyuluhan yang dilakukan dalam kelas maupun melalui penulisan karya akademis yang mewajibkan rujukan sumber akademis yang baku.

Yang menarik dari proses kegiatan penghargaan hak intelektual tersebut adalah proses pengakuan setinggi tingginya terlepas dari apakah sebuah karya hanya sebatas sebuah esai yang dikumpulkan sebagai tugas akademik.

Dalam hal ini, sangatlah tidak dianjurkan untuk memberikan contoh sebuah karya sesama teman untuk mengerjakan sebuah tugas yang sama untuk menghindarkan potensi plagiarisme baik dalam kata kata maupun dalam ide.

Dengan kata lain, penghargaan hak intelektualitas di Inggris telah dimulai dari hal hal yang kecil seperti menghargai hak intelektualitas dari seorang mahasiswa.

Tentunya mekanisme untuk mencegah imitasi keilmuan ini tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya instrumen instrumen yang dapat mengukur tingkat pembajakan intelektual yang tertuang dalam sebuah karya akademik.

Tidaklah heran apabila universitas universitas di Inggris mewajibkan para mahasiswanya untuk menyerahkan karya tulis mereka secara elektronik agar terdeteksi dari bentuk imitasi tanpa pengakuan hak intelektual.

Disamping tersedianya piranti lunak yang dapat mendeteksi tingkat plagiarisme, dibentuk juga sebuah komite akademik yang mempertimbangkan nasib akademik dari seseorang yang melakukan imitasi keilmuan tanpa pengakuan hak intelektual.

Hal ini berlaku bukan hanya pada mahasiswa baik strata satu, dua maupun tiga, namun juga dapat diberlakukan terhadap para pengajar dan guru besar yang sering menerbitkan karya karya ilmiah dalam taraf internasional.

Pembentukan

Mencermati pola yang dilakukan di Inggris, budaya untuk menghargai hak intelektual merupakan akar dalam mendorong timbulnya pengetahuan baru yang pada akhirnya berperan dalam pembangunan kemampuan sains dan teknologi suatu bangsa.

Melalui budaya pengakuan hak intelektual, seseorang individu akan dirangsang untuk berkarya lebih dalam dan luas dalam menciptakan pengetahuan pengetahuan baru tanpa merasa takut akan tercurinya ide ide yang dimiliki.

Pengakuan hak intelektual dapat dimulai dengan penghargaan gagasan gagasan individu baik melalui pemikiran maupun karya nyata yang tertuang baik di media massa maupun dalam lingkup komunitas ilmiah.

Dalam kaitannya dengan media massa, budaya pengakuan hak intelektual dapat diperankan oleh media cetak melalui perlindungan hak intelektual dari sebuah karya yang masuk.

Media cetak dapat menjadi pionir dalam memberikan pengakuan hak intelektual dengan cara melindungi karya yang masuk dari potensi penyabotan gagasan oleh pihak lain terlepas dari dicetak atau tidak dicetaknya karya tersebut.

Cara ini nampaknya perlu mendapat dukungan mengingat sebagai pemberi informasi terdepan, media massa sangat berperan dalam mengubah paradigma budaya suatu masyarakat.

Di sisi yang lebih formal, budaya pengakuan hak intelektual di institusi akademik dapat dimulai dengan pembinaan para mahasiswa baru dengan penyuluhan akan pentingnya pengakuan hak intelektual seseorang.

Disamping itu, pola lain seperti pelatihan penulisan dan perujukan sumber yang baku akan melatih kebiasaan para calon intelektual agar peka dalam menghargai hak intelektual orang lain.

Fungsi dan peran cendekiawan di institusi akademik dalam menanamkan budaya tersebut tentunya akan sangat efektif apabila pola tersebut telah terlebih dahulu dipraktekkan oleh para cendekiawan.

Tuntutan akan tumbuhnya kemampuan sains dan teknologi yang berdaya saing mengisyaratkan bahwa para cendekiawan nampaknya sudah harus berbenah dalam menyikapi pentingnya budaya untuk mengakui hak intelektual.

Seperti halnya pepatah, bisa karena biasa. Mencontoh dari negara Inggris, kebiasaan dalam mengakui dan melindungi hak intelektual akan membentuk perilaku yang berintegritas, bermoral serta bebas dari korupsi intelektualitas.