Monday 12 November 2007

Transportasi dalam perspektif peradaban informasi

Sejalan dengan perubahan perubahan teknologi, manusia telah dapat memecahkan masalah masalah ekonomi dan sosial yang sebelumnya mengalami kebuntuan akibat tingginya kebutuhan akan sumber daya alam disertai dengan laju populasi yang meningkat.

Melalui perubahan teknologi jugalah manusia telah menciptakan sarana bagi individu individu yang berbeda lokasi untuk dapat bertemu di dalam suatu ruang yang sama untuk dapat melakukan aktifitas bersama serta berinteraksi secara sosial.

Seiring dengan gagasan untuk membangun sarana transportasi, manusia menciptakan beragam kendaraan sebagai alat angkut sehingga lokasi geografis yang berbeda bukanlah menjadi hambatan untuk manusia dalam mewujudkan aktifitasnya.

Namun sejalan dengan bertambahnya penduduk serta tingginya kebutuhan untuk berinteraksi dan beraktifitas, sarana transportasi kini telah menuju pada titik jenuh yang justru memberikan masalah masalah yang menghambat manusia untuk melakukan mobilisasi secara cepat.

Pada kondisi ini, perubahan teknologi kembali menawarkan jawaban dalam memecahkan masalah yang dihadapi manusia dalam mengatasi kendala transportasi.

Melalui kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, manusia dapat berinteraksi menembus batasan geografis dan zona waktu yang berbeda tanpa mempertemukan mereka dalam suatu dimensi ruangan fisik.

Dengan kemajuan ini, manusia telah memasuki peradaban baru yang lazim disebut sebagai peradaban informasi.

Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa terdapat sisi lain yang bisa ditelusuri dalam memecahkan masalah transportasi dengan memakai paradigma yang baru. Namun sebagai konsekuensinya, manusia akan dituntut untuk berubah dari kultur yang sedang berlaku.

Dengan menerima peradaban informasi, akan terjadi dua dampak yang bertentangan. Di satu sisi, peradaban informasi membawa sisi positif dalam penciptaan ekonomi dan bentuk sosial baru. Hal ini dipicu oleh dua hal.

Pertama, melalui penerimaan peradaban informasi, industri telekomunikasi dan jaringan informasi akan menjadi industri yang berperan dalam pemembentukan perilaku ekonomi, sosial dan budaya manusia yang baru. Industri inilah yang membawa manusia ke dalam bentuk komunitas baru yang didengungkan sebagai komunitas pengetahuan dan komunitas informasi.

Kedua, melalui peradaban informasi, manusia akan terpacu untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk melakukan aktifitas produksi maupun untuk aktifitas lain yang dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis. Melalui penggunaan media berbasiskan teknologi informasi dan komunikasi tersebut lahir sektor industri baru yang diistilahkan sebagai the new economy.

Di sisi lain, peradaban informasi juga akan memutuskan bentuk perekonomian yang lama. Peradaban informasi menciptakan konsep baru dalam aktifitas manusia seperti dalam penggunaan remote office atau virtual collaboration. Dengan kedua konsep tersebut, manusia dapat melakukan aktifitas kantor dimanapun tanpa harus berpindah tempat.

Sebagai akibat dari peradaban informasi, maka konsep dari transportasi pun secara perlahan akan berubah. Dengan masuk ke dalam peradaban informasi, manusia dapat mengurangi ketergantungannya pada sarana transportasi. Perubahan ini dapat menimbulkan kelumpuhan pada mata rantai industri transportasi termasuk diantaranya industri otomotif, transportasi umum, bahan bakar, suku cadang dan bahkan industri konstruksi.

Di sinilah prinsip destruksi kreatif itu berlaku. Melalui prinsip tersebut, industri industri yang sedang berjalan mau tidak mau akan berbenah untuk menghadapi industri industri baru yang mampu menjawab tantangan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks melalui solusi yang menuntut adanya perubahan paradigma.

Sejarah mencatat bahwa perubahan teknologi membawa manusia menuju paradigma yang baru. Budaya cocok tanam dari peradaban agraris perlahan tapi pasti tergantikan oleh budaya industri yang mengedepankan efisiensi produksi. Demikian juga peran transportasi akan cepat atau lambat beradaptasi sejalan dengan mampunya teknologi informasi dan komunikasi mengambil peran dalam memecahkan masalah masalah mobilitas manusia.

Merefleksikan perubahan paradigma tersebut ke dalam isu transportasi yang sedang aktual di Jakarta, nampaknya kita masih hanyut dalam retorika busway sehingga lupa untuk menelusuri paradigma baru yang bertumpu pada peradaban informasi dalam menyelesaikan masalah kemacetan.

Thursday 8 November 2007

Destruksi Kreatif, Busway dan Ekonomi Informasi

Dalam landasan ekonomi yang didasarkan pada pemberdayaan teknologi baru, gagasan destruksi kreatif Joseph Schumpeter sangatlah relevan dalam mengatasi problema aktual di masa kini maupun masa mendatang.

Pemberdayaan teknologi baru bahkan dapat merubah perilaku masyarakat dalam melakukan aktifitas sehari hari.

Dengan sendirinya pemberdayaan teknologi baru dapat merubah pola perekonomian, sosial dan budaya masyarakat menuju bentuk bentuk yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Melalui perubahan perubahan tersebut manusia telah memasuki perubahan budaya dimulai dari budaya agraris menuju budaya industrialis bermula dari ditemukannya mesin uap.

Selanjutnya dengan perkembangan dibidang elektronika dan otomatisasi, manusia dibawa menuju perubahan budaya yang berlandaskan pada industrialisasi modern.

Demikian juga halnya dengan perkembangan dalam teknologi informasi. Dengan adanya kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi, budaya baru yang mengandalkan aliran informasi mulai menggantikan pola pola industrialisasi.

Dengan sendirinya model bisnis yang sedang berjalan mau tidak mau harus mengubah diri karena mata rantai pasokan (supply chain) industri telah bergeser dengan dipotongnya jalur jalur intermediasi pasar seperti distributor dan agen.

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi bahkan telah memungkinkan untuk melakukan pekerjaan 24 jam terus menerus tanpa hentinya dengan penyebaran aktifitas kerja pada lokasi geografis yang berbeda.

Namun, sebuah kondisi yang pasti terjadi dengan adanya inovasi dan perubahan teknologi adalah adanya pihak pihak yang akan lumpuh menghadapi perilaku aktifitas yang sangat berbeda dari perilaku yang telah berjalan.

Perubahan inilah yang dimaksud oleh Joseph Schumpeter sebagai destruksi kreatif.

Perubahan pola industrialisasi menuju era informasi telah nampak dengan mulai lunturnya budaya “berpindah tempat” dalam melakukan aktifitas ekonomi maupun produksi.

Karenanya, menerapkan budaya “tidak berpindah tempat” untuk aktifitas yang dapat dilakukan tanpa perlunya moda transportasi merupakan gagasan yang dapat dijadikan solusi untuk menekan kemacetan.

Bahkan melalui pengunaan media teknologi informasi dan komunikasi sebuah perusahaan swasta asing di Jakarta telah menerapkan praktek bekerja dari rumah untuk para karyawannya dalam menjalankan sebagian dari aktifitas aktifitas perusahaan.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjembatani pertemuan antar individu tanpa berpindah tempat dilakukan oleh perusahaan tersebut melalui media call maupun video conferencing.

Piranti keras maupun lunak untuk melakukan kedua aktifitas tersebut bahkan sudah tersedia dengan harga yang sangat terjangkau.

Melihat permasalahan busway dari sisi inovatif melalui paradigma yang berbeda melalui kacamata teknologi informasi dan komunikasi alih alih berpaku dalam moda transportasi, justru akan menimbulkan dampak yang lebih produktif dan kompetitif.

Pertama, para pelaku di sektor telekomunikasi dan jaringan informasi akan dirangsang untuk berkompetisi dalam menyediakan jasa dengan harga yang jauh lebih terjangkau sejalan dengan tumbuhnya permintaan untuk penyediaan jasa dial up maupun broadband internet.

Disamping itu, harga tarif operator seluler yang selama dikeluhkan tinggi beserta praktek fixed pricing oleh operator tertentu, akan turun dengan tingginya waktu bicara dan bertambahnya pelanggan seluler untuk melakukan aktifitas yang produktif.

Kompetisi antara operator seluler dan fixed line akan kembali tumbuh dan hal ini justru akan menguntungkan konsumen untuk mendapatkan pilihan layanan yang lebih baik.

Kedua, dengan turunnya harga untuk mendapatkan akses informasi, masyarakat akan dipicu untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi baik untuk aktifitas produksi maupun untuk aktifitas lain yang dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis.

Budaya self entrepreneurship melalui penggunaan media berbasiskan teknologi informasi elektronik akan berkembang sehingga tercipta sektor industri baru.

Hal ini telah dibuktikan oleh seorang pengusaha muda dari Bandung dengan menjalankan usahanya dengan menggunakan e-commerce. Demikian juga di Bali dengan sebuah perusahaan yang menawarkan jasa reservasi secara on-line.

Ketiga, sejalan dengan ketidak pastian pasokan minyak dunia yang menyebabkan fluktuasi harga minyak yang diperkirakan mendekati 100 dolar per barel, penerapan aktifitas tanpa penggunaan moda transportasi akan menekan pengunaan energi baik untuk konsumsi industri maupun pribadi.

Disamping itu melakukan aktifitas tanpa berpindah tempat seperti praktek bekerja di rumah justru akan meningkatkan produktifitas, mengurangi beban psikis karyawan serta menjaga keseimbangan hidup.

Tentunya hal ini akan berdampak pada lumpuhnya mata rantai industri otomotif, bahan bakar, suku cadang, asesoris kendaraan dan lainnya.

Penerimaan secara besar besaran pada sektor ini akan jatuh mengingat perkiraan akan masih banyaknya ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi.

Namun justru disinilah gagasan destruksi kreatif itu. Industri industri yang sedang berjalan akan dipaksa berubah kalau tidak ingin lumpuh dalam menghadapi industri industri baru yang menawarkan perilaku ekonomi, sosial dan budaya baru.

Kalau demikian, sangatlah absurd jika kita masih terjebak dalam retorika transportasi busway dan tidak memikirkan gagasan gagasan yang lebih inovatif untuk menyelesaikan masalah kemacetan.

Tuesday 6 November 2007

Innovation and the economic of technological change

Observing recent opinions in the national mass media associated with the economic growth, there appears that the paradigm in creating sustainable growth has been changing.

The new dogma of exploiting knowledge has become a factor mandatory to make a country stay within the circle of economic competences rather than just relying on foreign direct investments.

Of course this idiom is somewhat different from the neo classical economic mainstreams drawn as old as the Adam Smith and David Ricardo.

The basic tenet of this new growth theory is about technological changes. It is believed that with scarce resources and the unexpected population growth, the Malthusian theory will face a serious threat if no radical changes are made.

With technology, the limit to grow now has its room to expand. Consider the use of biotechnology and modern agricultures in cultivating a large number of seeds. These were not in mind many decades ago where lands were required to expand to be able to plant more seeds.

However, what make it interesting are changes in the industry level because of the impacts technology offers.

Well, let us see the simplest case. How many of us now see the typewriter in our office? Or how many of us use calculator instead of using Exce or our mobile phonel?

Technological Changes

Technological changes may have not been thought as threats to many incumbent firms until they suddenly realize that their time is running out and there are little or even nothing to do other than just becoming thrown away from the market.

A simple example, some of us may still remember those walkmans with their lace hanging around our neck with the headphone in our ears.

Have you seen it lately?

What about the golden era of Betamax and VHS video? I have never seen a video rental in the city other than cheap pirate DVDs and reasonable price of Chinese DVD players which can play us all (that what they say) DVD movies, genuine or pirate.

Though it emerges without our will, yet we buy these products and fill the company’s pocket producing such gadgets. They become more prosper through innovative products.

Not to Innovate Problems

At the same time, incumbents resisting to innovate are, time and again, struggling to regain their market share. Although they may have seen the potential threat of new products, because of their unwillingness to invest in new product developments they are facing market declines.

Make it worst, they don’t acquire necessary knowledge to extend their products. The incumbent stays with their comfort zone thinking that their specialties and comparative advantages are enough to retain a strong market share.

This is what called as the “Not to Innovate Here” problems. Many incumbents are lack of perceiving even the weakest signal that may change the direction of the market demand.

IBM did not think the threat from personal computer (PC) and stayed in producing main frame computers just to realize that PCs were becoming dominant throughout the 1980s and 1990s.

Why? Because they believed they had their market base so strong that even the smallest change in the computer industry was ignored.

Another reason is because they had a solid distribution network that they were ignoring a new channel of distributing computers through retailers.

Interestingly, the one that started innovative ideas and capitalized them to their benefits made the same mistake with the ones they outperformed.

When Yahoo emerged as a new browser replacing Netscape and successfully outperformed Internet Explorer, no one would have thought that this company would suffer from competition.

Years later, Google dominates the information economy with its arsenal and now they are capitalizing their market share while Yahoo can only see Google's progress wondering why their market was slipped.

To stay competitive one must innovate continuously. Technology is changing and the market is competing. Once the market saturates, companies cannot stay competitive just by relying on low cost products. History has it that the one that comes up with innovative products and processes will sustain longer in the industry.

Budaya Pengakuan Hak Intelektual

Dalam perilaku masyarakat yang menanamkan kepentingan sosial dan kebersamaan, keenganan untuk mengakui hak intelektual dianggap sebagai hal yang lumrah sebagai suatu budaya yang mengakar pada budaya padi berbulir.

Dalam konteks filosofis, sejalan dengan semakin bertambahnya isi bulir padi, maka semakin merunduk juga batang padi. Analogi ini sering tercermin dalam perilaku keilmuwanan di negara berbudaya timur.

Sebagai konsekuensinya, kebanyakan para intelektual yang berbudayakan timur enggan mengklaim karya karyanya apabila terdapat pembajakan intelektual mengingat kuatnya landasan falsafah padi tersebut.

Sayangnya perilaku tersebut seringkali disalahgunakan untuk kepentingan kolektif dalam menciptakan sebuah karya yang mudah dan cepat tanpa mengakui keintegritasan pemegang hak intelektual.

Sebagai contoh, bukan rahasia lagi bahwa para pencipta lagu dan pemegang royalti yang seharusnya menikmati karya karya mereka justru dibajak untuk kepentingan yang lebih populis.

Mekanisme pasar yang seharusnya dijalankan secara bebas dan bertanggung jawab disimpangkan sebagai mekanisme pasar untuk memihak pada asas sama rata sama rasa. Walhasil, produk bajakan dianggap sebagai bagian dari mekanisme pasar itu sendiri.

Tidak terkecuali dalam karya intelektual, fungsi penilaian kelayakan cetak dipakai sebagai ajang untuk mengambil ide pemegang hak intelektual yang kemudian secara sengaja atau tidak diimitasikan dan dimodifikasi untuk kepentingan sang penilai.

Hak Intelektual

Pengakuan intelektual akan suatu karya pada dasarnya adalah sebuah bentuk hakiki untuk mengakui keberadaan talenta seseorang.

Bahkan dalam kegiatan yang sarat dengan komersialisasi pengetahuan, akumulasi dari intelektualitas yang terdapat pada seseorang dapat dijadikan komoditas dalam mengelola kegiatan perekonomian individu tersebut.

Dalam skala yang lebih besar, lahirnya perusahaan konsultan berbasiskan pengelolaan pengetahuan pada dasarnya merupakan tempaan dari pemberdayaan intelektualitas yang terakumulasi dan terorganisasi secara rapih.

Perusahaan perusahaan yang dapat menggabungkan pengelolaan pengetahuan dengan jaringan informasi, seperti halnya Google, bahkan dapat bertumbuh pesat melampaui perusahaan perusahaan berbasiskan produksi barang.

Penulis masih ingat akan awal kebangkitan Google yang bergelut dalam pencarian informasi berbasis jaringan melalui pemberdayaan algoritma matematika dalam mencari kata kunci untuk mendapatkan informasi secara cepat.

Dengan metode tersebut, Google merambah menjadi salah satu mesin pencari informasi yang tercepat dan paling banyak dipakai, melampaui kecepatan mesin pencari informasi yang dikembangkan oleh pihak Yahoo.

Bahkan melalui perlindungan hak intelektual untuk algoritma pencari informasi, kini Google telah menjadi satu perusahaan yang telah mencapai nilai lebih dari 600 dolar Amerika untuk perlembar sahamnya.

Hal ini sangatlah dimungkinkan mengingat tumbuhnya pengetahuan yang baru dapat dikomersialkan sekaligus dilindungi oleh institusi yang menjamin perlindungan hak intelektual.

Melalui institusi seperti International Trade Commissions di Amerika Serikat, kasus kasus penyalahgunaan pemberdayaan hak paten dapat ditangani sehingga karya karya baru dapat mengalir di pasar tanpa hambatan yang berarti.

Perilaku

Penghargaan akan hak intelektual baik dalam karya karya keilmuan dan gagasan pemikiran tercermin melalui pengakuan akan sumber yang menjadi bahan rujukan dalam menciptakan karya tersebut.

Di negara maju seperti Inggris, budaya tersebut sejak dini telah ditanamkan pada calon pemegang kesarjanaan baik melalui penyuluhan yang dilakukan dalam kelas maupun melalui penulisan karya akademis yang mewajibkan rujukan sumber akademis yang baku.

Yang menarik dari proses kegiatan penghargaan hak intelektual tersebut adalah proses pengakuan setinggi tingginya terlepas dari apakah sebuah karya hanya sebatas sebuah esai yang dikumpulkan sebagai tugas akademik.

Dalam hal ini, sangatlah tidak dianjurkan untuk memberikan contoh sebuah karya sesama teman untuk mengerjakan sebuah tugas yang sama untuk menghindarkan potensi plagiarisme baik dalam kata kata maupun dalam ide.

Dengan kata lain, penghargaan hak intelektualitas di Inggris telah dimulai dari hal hal yang kecil seperti menghargai hak intelektualitas dari seorang mahasiswa.

Tentunya mekanisme untuk mencegah imitasi keilmuan ini tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya instrumen instrumen yang dapat mengukur tingkat pembajakan intelektual yang tertuang dalam sebuah karya akademik.

Tidaklah heran apabila universitas universitas di Inggris mewajibkan para mahasiswanya untuk menyerahkan karya tulis mereka secara elektronik agar terdeteksi dari bentuk imitasi tanpa pengakuan hak intelektual.

Disamping tersedianya piranti lunak yang dapat mendeteksi tingkat plagiarisme, dibentuk juga sebuah komite akademik yang mempertimbangkan nasib akademik dari seseorang yang melakukan imitasi keilmuan tanpa pengakuan hak intelektual.

Hal ini berlaku bukan hanya pada mahasiswa baik strata satu, dua maupun tiga, namun juga dapat diberlakukan terhadap para pengajar dan guru besar yang sering menerbitkan karya karya ilmiah dalam taraf internasional.

Pembentukan

Mencermati pola yang dilakukan di Inggris, budaya untuk menghargai hak intelektual merupakan akar dalam mendorong timbulnya pengetahuan baru yang pada akhirnya berperan dalam pembangunan kemampuan sains dan teknologi suatu bangsa.

Melalui budaya pengakuan hak intelektual, seseorang individu akan dirangsang untuk berkarya lebih dalam dan luas dalam menciptakan pengetahuan pengetahuan baru tanpa merasa takut akan tercurinya ide ide yang dimiliki.

Pengakuan hak intelektual dapat dimulai dengan penghargaan gagasan gagasan individu baik melalui pemikiran maupun karya nyata yang tertuang baik di media massa maupun dalam lingkup komunitas ilmiah.

Dalam kaitannya dengan media massa, budaya pengakuan hak intelektual dapat diperankan oleh media cetak melalui perlindungan hak intelektual dari sebuah karya yang masuk.

Media cetak dapat menjadi pionir dalam memberikan pengakuan hak intelektual dengan cara melindungi karya yang masuk dari potensi penyabotan gagasan oleh pihak lain terlepas dari dicetak atau tidak dicetaknya karya tersebut.

Cara ini nampaknya perlu mendapat dukungan mengingat sebagai pemberi informasi terdepan, media massa sangat berperan dalam mengubah paradigma budaya suatu masyarakat.

Di sisi yang lebih formal, budaya pengakuan hak intelektual di institusi akademik dapat dimulai dengan pembinaan para mahasiswa baru dengan penyuluhan akan pentingnya pengakuan hak intelektual seseorang.

Disamping itu, pola lain seperti pelatihan penulisan dan perujukan sumber yang baku akan melatih kebiasaan para calon intelektual agar peka dalam menghargai hak intelektual orang lain.

Fungsi dan peran cendekiawan di institusi akademik dalam menanamkan budaya tersebut tentunya akan sangat efektif apabila pola tersebut telah terlebih dahulu dipraktekkan oleh para cendekiawan.

Tuntutan akan tumbuhnya kemampuan sains dan teknologi yang berdaya saing mengisyaratkan bahwa para cendekiawan nampaknya sudah harus berbenah dalam menyikapi pentingnya budaya untuk mengakui hak intelektual.

Seperti halnya pepatah, bisa karena biasa. Mencontoh dari negara Inggris, kebiasaan dalam mengakui dan melindungi hak intelektual akan membentuk perilaku yang berintegritas, bermoral serta bebas dari korupsi intelektualitas.